Sejarah Juventus
1897 AWAL MULA
Dari Bangku Cadangan Pemain
Setiap legenda mempunyai cerita dimana pada suatu hari yang cerah, tepatnya
1 November 1897, sekelompok pemuda dari daerah Liceo D’Azeglio yang tengah
duduk di bangku pemain di Corso Re Umberto memutuskan untuk membentuk tim olah
raga dengan berfokus kepada permainan sepakbola. Mereka ini hanyalah sekelompok
anak-anak yang saling berteman dan menghabiskan waktu untuk jalan-jalan bersama
dan bersenang-senang serta melakukan berbagai hal positif. Lalu, mereka
merencanakan untuk bermain sepakbola di sebuah taman besar bernama Piazza
d’Armi, dimana tempat ini biasa digunakan untuk lari dan berkuda. Selain itu,
karena tempatnya yang cukup luas, tidak sulit bagi mereka untuk menemukan
tempat bermain sepakbola di sana.
Itulah kira-kira gambaran kisah yang diceritakan oleh salah satu pendiri
klub, Enrico Canfari: “Kami dulu menganggap perlu untuk bentuk sebuah tim dan
kami memutuskan hal itu saat musim salju di tahun 1897.” Itulah kira-kira kisah
awal terbentuknya Juventus, walau kisahnya sedikit kurang jelas, mungkin
dikarenakan markas Canfari bersaudara di 42 Corso Re Umberto, tempat awal
pertemuan memang sangat gelap.;. Usia mereka rata-rata 15 tahunan, yang tertua
berumur 17 dan lainnya di bawah 15 tahun. Setelah itu, hal yang mungkin tidak
jadi masalah sekarang ini tapi merupakan hal yang terberat bagi pemuda-pemuda
tersebut saat itu ialah:mencari markas baru! Canfari bersaudara memutuskan
untuk mencarinya sendiri dan akhirnya mereka menemukan salah satu tempat;
sebuah bangunan yang memiliki halaman yang dikelilingi tembok, mempunyai 4
ruangan, sebuah kanopi dan juga loteng dan keran air minum.
Canfari, Ketua Pertama
Selanjutnya, Canfari menceritakan tentang bagaimana terpilihnya nama klub,
segera setelah mereka menemukan markas baru. Akhirnya, tibalah pertemuan untuk
menentukan nama klub dimana terjadi perdebatan sengit di antara mereka. Di satu
sisi, pembenci nama latin, di sisi lain penyuka nama klasik dan sisanya netral.
Lalu, diputuskanlah tiga nama untuk dipilih; “Societa Via Port”, “Societa
sportive Massimo D’Azeglio “, dan “Sport Club Juventus”. Nama terakhir
belakangan dipilih tanpa banyak keberatan dan akhirnya resmilah nama klub
mereka menjadi “Sport Club Juventus”.
Eugenio Canfari, kakak dari Enrico Canfari yang mengisahkan kepada kita
asal-usul klub di atas. Setelah itu, markas klub berpindah tempat di Via Piazzi
4, distrik Crocetta, sebuah bangunan dengan 3 ruangan.
1898 – 1905 DARI MULAI TERBENTUK HINGGA SCUDETTO PERTAMA
Seragam Merah Jambu
Juventus akhirnya resmi terbentuk. Sekali lagi, Enrico Canfari menceritakan
kenangannya saat memainkan pertandingan pertamanya. Torino FC, klub sekota
mengundang mereka melakukan pertandingan persahabatan. Awalnya, mereka tidak
mengira sebuah klub terkenal mengajak mereka bertanding, namun pertandingan
akhirnya dilaksanakan. Hasilnya bisa ditebak, tim Juve kalah telak! Namun
permainan individual – karena mereka fokus berlatih dengan bola secara individu
– mereka dipuji lawan. Segera setelah melalui pertandingan pertama, juga telah
menemukan susunan sebelas pemain tetap, mereka mulai mulai rutin bertanding
sampai pada suatu waktu mereka membentuk sebuah turnamen untuk membuktikan
kapasitas mereka di Turin. Akan tetapi, masalahnya mereka saat itu belum
mempunyai seragam klub. Selain itu, sulit untuk memilih bahan yang akan
dipakai, apakah terbuat dari katun, flannel, atau wol. Sampai pada akhirnya,
mereka memilih memakai kostum dari bahan katun tipis dan halus berwarna merah
jambu yang mereka kenakan hingga tahun 1902, kostum yang terlupakan seiring
berjalannya waktu.
Di tahun 1899, klub berganti nama menjadi Juventus Football Club. Mulai
tahun 1900, mereka ambil bagian dari liga professional. Pertandingan resmi
pertama mereka adalah saat kalah dari FC Torino pada tanggal 11 Maret. Di tahun
1901, mereka berhasil mencapai semifinal dan di tahun 1903 dan 1904, mereka
kalah dari Genoa di final.
Juara Italia
Tahun 1905 adalah momen ajaib bagi tim biru-hitam-warna dari seragam klub
yang mengadopsi warna Klub Inggris, Nottingham, yang popular sampai sekarang.
Durante berada di posisi penjaga gawang; Armano dan Mazzia di posisi bek sayap;
Walty, Goccione, dan Diment sebagai bek tengah; Barberis, Varetti, Forlano, Squire,
dan Donna berada di baris penyerangan. Setelah menjuarai grup Piedmont, mereka
kandaskan Milan dua kali dan menahan seri Genoa, yang hanya bermain imbang
dengan Milan, untuk menjadi juara Italia dan berada di atas tim-tim dari daerah
Liguria. Pada waktu itu istilah scudetto belum diperkenalkan, namun Federasi
Sepakbola Italia memberi mereka pelat juara.
Alfred Dick adalah pimpinan klub saat itu sekaligus sebagai penyandang dana.
Secara keseluruhan tim menjadi lebih kuat, sebagian besar akibat pengaruh pemain
asing yang bekerja di pabrik tekstil miliknya. Tim ini hampir saja memenangi
title kedua di tahun 1906, namun mereka tidak bersedia tampil di final melawan
Milan sebagai bentuk protes mereka karena pertandingan tersebut dilakukan di
Milan bukan di tempat netral seperti keinginan mereka. Selain itu, banyaknya
pemain asing di tim membuat suasana kurang harmonis dan kepemimpinan Dick mulai
dipertanyakan hingga ia memutuskan untuk hijrah ke Torino serta membawa
beberapa pemain yang menjadi teman dekat dirinya.
1906 – 1923 SEBELUM DAN SESUDAH MASA PERANG DUNIA I
Tahun-tahun sulit
Setelah merengkuh gelar pertama, dimulailah masa-masa sulit bagi klub.
Chairman Dick meninggalkan posisinya diikuti para pemain asing mereka yang
memaksa klub merevisi target. Saat itu, keadaan klub sangat buruk dan mereka
juga kedatangan lawan tangguh baru yaitu tim Pro Vercelli dan Casale. Kedua
klub tersebut menjadi lawan menakutkan dan saling bersaing merebut posisi
teratas. Musim 1913/1914 adalah musim terakhir sebelum masa Perang Dunia I.
Musim selanjutnya lebih buruk dimana pada musim itu kompetisi ditunda pada 23
Mei 1915 karena Italia ikut ambil bagian dalam perang.
Majalah “Hurra Juventus” diterbitkan
Beberapa pemain dan official juga terjun dalam perang antar Negara itu dan
kebanyakan dari mereka gugur atau menghilang. Untuk tetap mengetauhi keberadaan
mereka, dibuatlah majalah “Hurra Juventus” yang ditulis oleh seorang editor,
Corradino Corradini. Sampul majalah memperlihatkan moto: “Kemenangan akan
menjadi milik yang terkuat dan percaya akan kekuatannya.”
Perang berakhir pada 11 November 1918 dan klub kehilangan beberapa pilar
penting dalam perang itu namun keinginan untuk menang masih tetap hidup. Pada
12 Oktober 1912, klub kembali ke lapangan pertandingan untuk mengikuti
kompetisi liga. Saat itu, Juventus diperkuat sang kiper, Giacone-yang tidak
lama kemudian dipanggil masuk ke timnas Italia-kiper legendaris yang merupakan
pemain Juventus pertama dalam sejarah yang dipanggil timnas Italia. Selain
kiper, ada dua full back, Novo dan Bruna yang mempelopori duet bek tangguh dan
diikuti oleh duet lainnya mulai dari Rosetta-Caligaris sampai Foni-Rava. Selain
mereka, kekuatan tim juga bergantung kepada determinasi yang diperlihatkan Bona
dan Giriodi. Semua pemain tersebut memberi kekuatan pada tim untuk meraih hasil
maksimal, seperti kemenangan atas Casale pada 7 Maret 1920. Selain itu, mereka
juga berhasil meraih hasil maksimal saat mengalahkan Genoa pada babak final
Grup Utara, pada 16 Mei yang ditandai dengan hattrick dari Bona walau saat itu
mereka tidak berhasil menjuarai Liga yang jatuh ke tangan Internazionale.
Debut Combi
Selanjutnya, orang-orang mulai membicarakan sepakbola sebagai fenomena baru
olah raga. Para pendukung antusias mendukung klub walau hasil pertandingan tidak
sesuai keinginan mereka. Di tahun 1921, klub tereliminasi pada fase
pertama grup bahkan pada 1922 dan 1933, klub berada pada posisi klasemen yang
buruk di Grup Utara. Namun semua itu perlahan-lahan mulai berubah. Adalah
Marchi II, seorang mantan pemain yang pensiun dan menjadi pelatih karena alasan
kesehatan, menemukan sesuatu yang hebat. Hal itu terjadi saat ia menyaksikan
sebuah pertandingan junior dan terkesima dengan penampilan seorang kiper.
Namanya: Giampiero Combi! Segera setelah itu, ia direkrut dan pada umur 18
tahun di tahun 1923, ia telah berhasil masuk sebagai tim inti.
1923 – 1929 AWAL TAHUN ’20-AN DAN GELAR KEDUA
Presiden klub Edoardo Agnelli
Pada 24 Juli 1923 Edoardo Agnelli, anak dari pendiri FIAT, terpilih sebagai
presiden klub. Pada masa itu, klub mempunyai lapangan sepakbola pribadi selama
kurun waktu setahun yang terletak di Corso Marsiglia, lengkap dengan tempat
duduk terbuat dari batu bata. Tim menjadi lebih kuat dari sebelumnya dimana tim
kedatangan bek hebat, Viri Rosetta dari Pro Vercelli. Tim terdiri dari kiper
Combi, winger Munerati, Gabbi dan Bigatto, dan seorang penyerang tengah lincah
Pastore (yang akhirnya beralih profesi menjadi aktor). Sementara itu, klub
pertama kali dalam sejarah ditangani seorang manajer yaitu Jeno Karoly yang
berasal dari Hungaria.
Scudetto Kedua
Manajer Karoly boleh saja sebagai dalang dari kesuksesan klub, namun aktor
penting dibalik itu semua ada pada diri seorang pemain Hungaria, Hirzer.
Selain itu, dalam perebutan title melawan Bologna, Juve harus memainkan partai
ulang setelah di dua partai final sebelumnya kedua tim bermain seri. Pada 2
Agustus bertempat di Milan, Juve akhirnya berhasil memenangi gelar setelah
menglahkan Bologna 2-1. Namun kegembiraan tidak berlangsung lama karena
beberapa hari sebelumnya, Karoly, sang manajer meninggal dunia secara
mengejutkan karena serangan jantung.
Dari Hirzer ke Orsi
Musim selanjutnya berjalan hampir mirip dengan musim sebelumnya. Setelah
beberapa kali memetik kemenangan, namun akibat penampilan buruk di semifinal
group, Juve terpaksa merelakan posisi pertama kepada Torino. Selain itu, Juve
juga kehilangan sang aktor, Hirzer, akibat terganjal peraturan liga. Masuknya
Cavenini III, yang sebelumnya cemerlang bersama Inter tidak banyak membantu
karena usianya yang sudah uzur. Walau penampilan mereka tidak bisa dibilang
jelek, Juve tetap saja tidak mampu menyaingi keperkasaan Bologna dan Inter
Milan di 2 musim berikutnya.
Pada akhir tahun 20-an, Liga Serie A berubah format menjadi 1 grup. Ini
membuat sepakbola menjadi semakin kompetitif dan dampaknya bagi Juve sangat
signifikan. Mereka melihat ini sebagai peluang untuk kembali ke persaingan
juara. Untuk itu, mereka menambah beberapa amunisi baru seperti, Caligaris,
Cesarini, dan Raimundo Orsi. Nama terakhir merupakan pemain kelahiran Argentian
namun mempunyai darah Italia dan ia terkenal setelah bermain bagus bersama
timnas di ajang Olimpiade.
1930 – 1935 LIMA TITEL BERUNTUN (1930 – 1935)
Bergabungnya Ferrari, Vecchina dan Varglien II
Dalam rentang periode antara 1930-1935, sepakbola Italia menjadi saksi
lahirnya sebuah klub yang mampu memenangi 5 gelar scudetto berturut-turut:
Juventus. Tim ini menjadi legenda se-antero Italia dengan sebutan “Italy’s
girlfriend”. Di bawah kepemimpinan Agnelli dan wakilnya, Baron Giovanni
Mazzonis di Pralafera, Juve menjelma menjadi klub populer. Perubahan format
kompetisi menjadi 1 grup (Liga Serie A) membawa perubahan signifikan bagi
sepakbola Italia, pun bagi Juve. Dengan skuad yang terdiri dari beberapa pemain
hebat seperti; Mumo Orsi, Cesarini, Varglien, Giovanni Ferrari, Vecchina dan
trio legendaries Combi-Rosetta-Caligaris, Juve menjadi tim solid yang siap
menyaingi keperkasaan Ambrosiana Inter (nama lama Inter Milan).
Di musim beikutnya, Juve melesat sendirian memimpin klasemen. Salah satu
kejutan terbesar ialah saat mereka kalah 0-5 dari Roma pada 15 Maret 1931.
Namun, tim segera melupakan kekalahan tersebut dan berhasil bangkit berhasil
meraih titel juara setelah sebelumnya mengalahkan Inter di Turin.
Monti: sang penguasa pertahanan
Musim selanjutnya, tim di bawah asuhan manajer Carcano hanya perlu sedikit
perubahan karena tim yang sudah ada tetap solid. Di lain pihak, Juve berhasil
mendatangkan pemain anyar berposisi bek sayap: Luisito Monti. Dengan karakter
pekerja keras dan tangguh, Monti menjelma menjadi salah satu bek tertangguh di
Serie A musim ini. Di sisi lain, Juve menghadapi perlawanan ketat dari tim lain
yang menjadikan mereka tim yang harus dikalahkan. Perlahan tapi pasti, mereka
mulai menemukan bentuk permainan terbaik dan berhasil menduduki posisi pertama
klasemen. Sementara itu, dalam pertandingan penting melawan Inter pada 17
Januari 1932, Oris dkk. berhasil memukul telak lawannya 6-2 dilanjutkan dengan
membantai Roma 7-1 pada 6 Maret 1932. dan, pada 1 Mei , kemenangan 3-2 atas
Bologna membawa Juve merebut scudetto 2 musim berturut-turut dan Orsi menjadi
top skorer Liga dengan 20 golnya.
Musim berikutnya, Juve merekrut bek Bertolini dan pemain sayap Sernagiotto.
Namun, pemain yang paling menyita perhatian muncul dari tim junior mereka:
Felice Placido “Farfallino” Borel. Penyerang ini selalu membuat gol-gol penting
bagi timnya dan di musim ini Juve berhasil finish di posisi pertama dengan 54
poin. Borel sendiri bermain fantastis dengan rekor 29 gol dalam 28 penampilan
yang belum dapat disamakan hingga saat ini.
Stadion Baru dan gelar lanjutan
Musim 1933/1934, Juve sekali lagi sukses merebut scudettonya yang ke-empat
secara beruntun dengan kontribusi Borel yang mencetak 31 gol dan 4 poin di atas
Inter. Gelar di musim ini juga terasa lebih bermakna karena pesaing utama,
Inter, merupakan tim terkuat saat itu termasuk bagi Juve yang tidak bisa
mengalahkan mereka dalam duel langsung. Sementara itu, pada Februari 1934, Juve
mempunyai stadion baru: New Comunale Stadium.
Terakhir, di musim 1934/1935, Juve merebut gelar scudettonya yang kelima
beruntun bersamaan dengan Italia yang menjadi juara Piala Jules Rimet. Gelar
terakhir dalam 5 tahun ini sayangnya tidak bisa dinikmati Combi yang telah
gantung sepatu.
1935 – 1949 SEBELUM DAN SESUDAH PERANG DUNIA II
Musim 1937/1938, Juve bersama trio pertahanan mereka; Amoretti-Foni-Rava
berjuang merebut titel dari Inter namun mereka akhirnya harus puas menjadi
runner-up. Di musim ini mereka sukses menjuarai Piala Italia pertama mereka
setelah di final mengalahkan Torino.
Debut Parola
Selanjutnya, setelah musim berikutnya bermain buruk dan hanya finish di
posisi 8, Juve berhasil memperbaiki posisi menjadi ketiga di musim selanjutnya.
Salah satu hal yang penting di musim ini adalah debut dari salah seorang pemain
muda mereka yang berposisi bek: Carlo Parola. Setelah berada di posisi 6 musim
1940/1941, mereka merebut Piala Italia kedua mereka di musim berikutnya. Di
periode ini, Italia ikut Perang Dunia II dan ini membuat jalannya Liga menjadi
terhambat.
Liga pada masa Perang
Sepakbola Italia terus berlangsung saat masa perang berjalan. Pada 1944,
Juve ikut serta dalam sebuah turnamen lokal, yang akhirnya urung diselesaikan.
Pada 14 Oktober, Liga kembali bergulir dan ditandai dengan derby Torino v
Juventus. Torino yang saat itu mendapat sebutan “Grande Torino” kalah 2-1 dari
Juventus. Namun di akhir musim justru Torino berhasil juara. Pada jeda musim
panas, sebuah peristiwa penting terjadi di Juve pada 22 July 1945, Giannin
Agnelli mengambil alih posisi presiden klub, meneruskan tradisi keluarga
Agnelli. Dalam kepempinannya, Agnelli mendatangkan Giampiero Boniperti dalam
jajaran staffnya. Ditambah amunisi baru seperti, Muccinelli dan tombak asal
Denmark John Hansen.
1949 – 1957 GELAR PERTAMA BONIPERTI
Gelar juara telah diukir
Musim panas 1949, tragedy menimpa Torino. Para anggota tim mereka tewas
dalam kecelakaan pesawat yang dikenal dengan “tragedy Superga”. Hal ini membuat
Juventus mengambil alih kekuasaan liga. Dengan kedatangan skuad baru seperti,
kiper Giovanni Viola, bek Bertucelli,Piccini, dan penyerang Vivolo, mereka
mencoba merebut juara liga. Setelah merengkuh serangkaian kemenangan, pada 5
februari 1950 mereka menderita kekalahan telak 7-1 dari AC Milan di depan
public sendiri. Namun, Juve berhasil bangkit dan berhasil memenangi gelar liga
ke 8 mereka 4 minggu sebelum musim usai dengan torehan 100 gol/musim dan
kemasukan 43; penyerang Hansen menjadi top skorer dengan 28 gol.
Martino pergi, Juve lakukan tur ke Brazil
Tahun berikutnya keadaan sedikit memburuk dengan hengkangnya sayap mereka,
Martino ke Argentina. Lalu, perjalanan mereka di liga domestik tidak mulus dan
banyak membuang poin di pertandingan mudah. Bulan Juni, mereka melakukan tur
uji coba ke Brazil dan mencapai final sebelum kalah dari Palmeiras di Maracana.
Gelar di tahun 1952 bersama pemain Hungaria Sarosi
Juve mengganti manajer mereka dengan pria Hungaria, Sarosi. Di tahun ini,
Juve berhasil memenangi scudetto ke 9 mereka dengan koleksi 60 poin, 98 gol dan
34 kemasukan. Dua musim berikutnya skuad bertambah kuat namun mereka harus
merelakan elar liga kepada Inter karena banyaknya pemain yang cedera dan
kondisi tim yang tidak kondusif.
Puppo dan para pemain muda
Gianni Agnelli meninggalkan klub pada 18 September 1954. Tahun ini periode
gelap Juve dimulai dengan hanya mampu finish di posisi 7. Musim berikutnya, di
bawah arahan manajer Puppo yang mengandalkan skuad muda Juve mulai mencoba
bangkit. Setelah serangkaian kekalahan karena skuad yang belum matang, pada
November 1956 kabar baik berembus dengan masuknya Umberto Agnelli sebagai
komisioner klub. Skuad menjadi kuat dengan kedatangan beberapa pemain hebat
seperti Omar Sivori dan John Charles.
1957 – 1961 CHARLES AND SIVORI
Sivori dan Charles (1957 – 1961)
Kedatangan kedua pemain di atas menjadikan Juve semakin solid di bawah
arahan manajer Ljubisa Brocic. Musim 1957-58 Juve meraih gelar juara ke-10
dengan kontribusi Sivori dan Charles. Charles juga dinobatkan sebagai top
skorer dengan 28 gol. Musim berikutnya berjalan sebaliknya. Juve bermain
inkonsisten dan hanya mampu finish di posisi 4, walau berhasil meraih gelar
Piala Italia.
Kembalinya Cesarini
Renato Cesarini yang pernah menangani klub pada musim 1959-1960 kembali
ke klub. Dan hasilnya bisa ditebak, Juve merebut kembali scudetto ke-11 mereka
dengan 55 poin. Sivori kembali hebat dengan raihan 27 gol.
Musim 1960-1961 penuh dengan kejutan. Juve kedatangan lawan berat, Inter di
bawah asuhan pelatih legendaries Helenio Herrera. Paruh pertama musim merupakan
kabar buruk bagi Juve. Namun di paruh kedua mereka membuat kejutan dengan
berhasil mempertipis jarak menjadi 1 poin dengan pimpinan klasemen,Inter. Di
pertandingan penentu, Juve mengalahkan Inter dalam perebutan scudetto. Juve
juara untuk ke-12 kalinya.
1961 – 1969 TAHUN “MOVIMIENTO” (MOVEMENT/PERGERAKAN)
Perpisahan Boniperti dan lahirnya formasi 4-4-2
Musim ini jadi musim terakhir Boniperti. Juve mencoba peruntungan di
kejuaraan Eropa namun terhenti oleh Real Madrid. Umberto Agnelli tinggalkan
klub dan digantikan oleh seorang insinyur bernama Vittore Catella. Agustus
1962, Amaral dari Brazil menjadi manajer dan Juve bermain dengan formasi anyar
4-4-2. Namun di liga, mereka terpuruk di urutan kedua di bawah Inter.
Piala Alps dan perpisahan Sivori
Musim panas 1963, Juve merebut Piala Alps, gelar internsional pertama
mereka, di Swiss. Amaral hengkang digantikan oleh Eraldo Monzeglio dan pada
1964 diganti lagi oleh orang Paraguay, Heriberto Herrera. Ia menerpkan latihan
keras dan suatu pola baru yang yakni moviento (pergerakan tanpa bola). Mereka
berhasil merebut Piala Italia. Musim selanjutnya, Sivori pindah ke Napoli dan
Juve berjuang di papan atas namun mengakhiri kompetisi di posisi kelima.
Musim 1966, Juve merebut gelar ke-13 mereka di saat-saat akhir dengan
menyalip Inter Milan. Mereka juga bermain di kompetisi Eropa namun kembali
gagal.
1969 – 1976 AWAL TAHUN 70-AN
Awal tahun 70-an
1969: pelatih Heriberto Herrera digantikan Luis Carniglia dan beberapa
pemain baru, Marchetti, Morini, Furino, Roberto Vieri dan Lamberto Leonardi,
direkrut. Tim berjuang dari awal untuk beradaptasi dengan taktik baru. Setelah
beberapa lama, terjadi perubahan besar di tim, Boniperti naik sebagai Direktur
Pelaksana dan Italo Alodi sebagai Direktur Umum sementara Ercole Rabitti
menggantikan Carniglia. Tim mulai beranjak naik memperbaiki posisi dan berusaha
mengejar Cagliari dengan berhasil menorehkan 8 kemenangan beruntun. Namun hal
itu sudah terlambat karena Cagliari dengan andalannya Gigi Riva hanya butuh
hasil seri saat melawan Juve untuk meraih titel dan mereka berhasil
melakukannya.
Pada musim selanjutnya, tim dirombak. Haller dan Salvadore menjadi
satu-satunya pemain yang dipertahankan dan Juve merekrut beberapa pemain muda
seperti, Spinosi, Capello dan Landini dari Roma. Sementara itu, Franco Causio
dan Roberto Bettega pulang dari masa pinjamannya di Palermo dan Varese. Armando
Picchi didaulat sebagai manajer tim namun tidak lama kemudian ia mengundurkan
diri karena sakit.
Paruh pertama musim, Juve belum stabil dalam permainan dan di paruh kedua
mereka berhasil kembali ke performa terbaik terutama saat mencapai final Fairs
Cup (cikal bakal Piala UEFA) namun kalah dari Leeds United. Saat itu, Juve
ditangani manajer Vycpalek. Musim 1971/72, pekan ke-4, Juve kalahkan AC Milan
4-1 di San Siro ditandai permainan apik Bettega dan Causio. Namun beberapa saat
kemudian, mesin gol Bettega harus istirahat karena sakit dan posisi pertama
klasemen milik Juve menjadi terancam. Untungnya mereka berhasil konsisten dan
merebut scudetto ke-14 mereka.
Musim selanjutnya mereka kedatangan kiper legendaries Dino Zoff dan Jose
Altafini dari Napoli. Di musim ini, Juve dihadapkan pada jadwal pada Liga dan
kompetisi Eropa. Setelah berjuang samai menit akhir, Juve berhasil menyalip AC
Milan, yang secara mengejutkan kalah dipertandingan terakhir mereka, dan
merebut scudetto ke-15. Namun, di kompetisi Eropa, mereka kalah dari Ajax yang
domotori Johan Crujff di Final Piala Champions di Belgrade.
Kembalinya Parola
Musim 1973/74: Juve mengawali musm dengan buruk, dan ditambah tereliminasi
di kompetii Eropa walau telah merekrut Claudio Gentile dari Varese. Di akhir
musim, Juve finish kedua di bawah Lazio. Akan tetapi di tahun berikutnya, Juve
kembali ke puncak. Setelah kembalinya eks pemain mereka Carletto Parola sebagai
manajer ditambah pemain baru, Damiani dan Scirea, Juve merebut scudetto pada 18
Mei saat menhancurkan Vicenza 5-0. di musim 1975/76, keadaan sama persis: Juve
memimpin dan tim lain berusaha mengejar, diantaranya Torino. Setelah musim
berjalan mendekati akhir, Juve kehilangan konsentrasi dan terpaksa merelakan
gelar kepada Torino.
1976 – 1982 GELAR TRAPATTONI
Rekor Gelar
1976-77. Torino sebagai juara bertahan mendapat lawan sepadan dari Juventus
yang hampir seluruh timnya dirombak. Trappattoni masih menjadi manajer klub
dengan Boninsegna dan Benetti sebagai pemain baru menggantikan Anastasi dan
Capello. Juventus memulai musim dengan baik namun Torino berhasil menyalip pada
saat keduanya betemu di derby. Akan tetapi, pada pekan 12, Juventus berhasil
menyamakan poin dengan Torino. Keduanya bertarung ketat hingga akhir musim.
Pada pekan ke 26, poin kedua tim sama dan pekan berikutnya Juventus berhasil
unggul satu poin dan mempertahankannya sampai akhir musim. Pada akhir musim,
melalui gol Bettega dan Boninsegna saat melawan Sampdoria membuat Juventus
merebut scudetto dengan 50 poin unggul 1 poin atas Torino. Beberapa hari
sebelumnya, Juventus baru saja memenangi Piala UEFA pertama mereka dengan
mengalahkan Bilbao.
1978, masih pertama
Musim berikutnya, 1977-1978, Juventus yang ikut serta kembali di kejuaraan
Eropa, mendatangkan beberapa muka baru seperti, Virdis, Fanna, dan Verza.
Juventus bermain konsisten dan hanya Vicenza yang menguntit mereka. Paruh
pertama musim, Juve unggul 2 poin dari Torino, 3 poin dari Vicenza, dan 4 poin
dari AC Milan. Setelah itu mereka bermain dengan baik dan bermain seri saat
derby, menahan 2-2 Inter Milan setelah tertinggal 2-0 pada 8 April. Akhirnya,
hasil imbang dengan Roma satu pekan sebelum akhir musim membawa mereka
merengkuh scudetto ke 18 mereka.
Dua tahun masa transisi
Musim panas musim 1978, Juventus kehilangan kesempatan untuk merekrut Paolo
Rossi, salah satu pemain terbaik Piala Dunia asal Argentina, dari Vicenza.
Musim ini tidak seperti musim sebelumnya dimana mereka memulai musim dengan
buruk baik di liga maupun di kejuaraan Eropa. Juventus berhasil mencuri 3 poin
dari AC Milan dengan kemenangan 1-0 namun sesudahnya mereka kembali bermain
tidak konsisten dan akhirnya menyerahkan gelar juara ke tangan AC Milan. Pada
musim selanjutnya, Juventus merekrut Bodini, Tavola, Prandelli, dan Marocchino
dari Atalanta. Paruh pertama musim, Juve berada di papan tengah namun berhasil
mengejar Inter dengan empat kemenangan beruntun. Akan tetapi, Inter akhirnya
sulit dikejar dan sekali lagi gelar juara lepas dari genggaman.
1980-1981, Juventus mulai membangun kekuatan di awal bulan Desember dengan
menahan seri Roma 0-0. Pekan ke-20, Roma berhasil menguntit Juve di posisi
puncak dan Napoli juga mengejar.
Pada 10 Mei, Juve dan Roma bermain seri dalam pertandingan yang sarat
kontroversi, dan setelahnya Juve berhasil menang atas Napoli dan Fiorentina
sekaligus merebut gelar di detik-detik terakhir.1981-82, salah satu musim
terbaik Juve. Dimulai dengan enam kemenangan beruntun, Juve mulai meninggalkan
jauh lawan-lawannya. Namun, akibat serangkaian hasil buruk mereka mulai
kedodoran. Pada akhirnya, Juve dan Fiorentina yang mempunyai poin sama hingga
sampai pekan terakhir mereka harus memainkan partai penentu. Di pertandingan
itu, Juve berhasil menang atas Catanzaro melalui penalty Liam Brady sedang
Fiorentina ditahan seri Cagliari. Dengan hasil ini, Juve kembali merebut
scudetto.
1982 – 1986 ERA PLATINI
Kekecewaan di Athena
Setelah 6 pemainnya ikut andil dalam timnas Italia yang menjuarai Piala
Dunia 1982, ditambah dengan kedatangan mega bintang Prancis Michele Platini,
Juventus kembali difavoritkan di musim 1982-83. Namun Juventus yang juga
disibukkan dengan jadwal kejuaraan Eropa memulai kompetisi dengan lambat. Hal
itu ditunjukkan dengan menelan kekalahan dari Sampdoria di pertain pembuka
musim serta menag dengan tidak meyakinkan atas Fiorentina dan Torino. Sementara
di Eropa, mereka berhasil menyingkirkan Hvidovre (Denmark) dan Standard Liege (Belgia)
di penyisihan. Akan tetapi, Juventus kembali ke trek juara di musim dingin
bersamaan keberhasilan mereka menembus perempat final Liga Champions.
Selanjutnya, kemenangan atas Roma melalui 2 gol dari Platini dan Brio
membuat jarak keduanya berselisih 3 poin dengan Roma di posisi puncak. Namun,
karena konsentrasi Juve terpecah antara Serie A dan Liga Champions akhirnya
tidak berhasil mengejar AS Roma yang menjadi juara. Juventus seharusnya bisa
menumpahkan kekecewaannya di Liga saat mereka bertemu Hamburg di final Liga
Champions tapi hal itu tidak terjadi. Berada di posisi kedua di kompetisi
domestic dan Eropa, Juventus akhirnya berhasil merebut gelar penghibur saat
menjuarai Piala Italia dan Piala Interkontinental.
1984- Sejarah gelar ganda
Musim panas 1983, Juve kehilangan dua pilar inti mereka. Dino Zoff gantung
sepatu di usia 41 tahun sedangkan Bettega beralih ke Kanada untuk mengakhiri
karirnya di sana. Pemain lain seperti Fanna, Galderisi, Morocchino dan Virdis
juga meninggalkan klub. Juve merekrut kiper baru dari Avellino: Stefano Tacconi
dan Beniamino Vinola dari klub yang sama. Sementara Nico Penzo menjadi
pendampong Rossi di lini depan. Juve pada saat itu berkonsentrasi penuh di dua
kompetisi, Liga dan Piala Winner. Hasilnya, melalui penampilan yang konsisten
sepanjang musim, Juve merengkuh gelar liga satu minggu sebelum kompetisi usai.
Dan gelar ini ditambah gelar lainnya di Piala Winner saat mereka mengalahkan
Porto 2-1 di Basel pada 16 Mei 1984. Dua gelar ini sangat bersejarah dan merupakan
prestasi bagi kapten klub Scirea dan kawan-kawan.
Raja di kompetisi Eropa
1984-85. Juve kedatangan banyak muka baru diwakili Briaschi dan Favero.
Namun permainan mereka menjadi inkonsisten. Kekalahan dari Inter pada 11
November membuat mereka memutuskan untuk berkonsentrasi di Eropa. Pada bulan
Januari, Juve merengkuh gelar Piala Super Eropa setelah mengandaskan Liverpool
2-0. Di Liga Champions, Juve berhasil melaju sampai final. Kembali ke liga,
kemenangan Juve atas Inter dan Torino membuat Verona, tim kejutan musim itu,
menjuarai liga. Dan akhirnya pada 29 Mei 1985, bertempat di Bruxelles, Juve
mementaskan partai final Liga Champions. Setelah sebelumnya diwarnai tragedi
berdarah antar supporter, Juve akhirnya berhasil meraih trofi Eropa melalui penalty
Michael Platini di malam yang penuh dengan tragedi.
1985-86. Juve memulai musim dengan sempurna melalui 8 kemengan beruntun.
Hasil ini membuat persiapan mereka di Piala Interkontinental pada 8 Desember di
Tokyo, Jepang menjadi maksimal sekaligus merebut gelar di sana. Di liga, Juve
bersaing ketat dengan Roma hingga poin keduanya sama di sisa 2 pekan terakhir.
Namun kejutan terjadi saat Roma menelan kekalahan dari tim yang sudah
terdegradasi, Lecce sementara Juve menang atas AC Milan. Pekan terakhir tidak
merubah apapun dan Juve merebut gelar juara liga dengan Platini menjadi top
skorer klub dengan 12 gol.
1986 – 1990 JUVENTUS ARAHAN ZOFF: RATU PIALA
Musim terakhir Platini
1986-87. Trapattoni meninggalkan Juventus dan bergabung ke Inter setelah
melatih selama 10 tahun. Posisinya digantikan oleh Rino Marchesi. Dampaknya,
beberapa perubahan terjadi di skuad Juve; Vignola kembali dari masa pinjaman,
bek Solda direkrut dari Atalanta dan bocah 17 tahun Renato Buso didatangkan
dari tim junior klub. Sementara ikon klub, Platini yang kelelahan sehabis
membela negaranya di Piala Dunia Meksiko menandatangani kontrak 1 tahun dan
akan pensiun saat kontraknya berakhir pada akhir musim. Di liga, Juve
memulainya dengan 3 kemenangan dan hasil seri lawan AC Milan. Sementara di Liga
Champions, setelah melewati hadangan klub medioker Valur, Juve bertemu lawan
super berat, Real Madrid yang dihuni oleh bintang-bintang seperti Butragueno,
Sanchis dan Gordillo. Juve pun akhirnya menyerah melalui adu penalti. Kembali
ke liga, Juve masih terkena dampak tereliminasi di kejuaraan Eropa dan menelan
kekalahan dari Napoli yang saat itu diperkuat megabintang Diego Maradona. Hasil
ini menjadi factor penentu karena saat keduanya kembali bertemu di San Paolo,
Juve kembali kalah dan gelar Scudetto direbut Napoli yang merupakan gelar
pertama bagi mereka. Musim itu, Juventus finish di posisi kedua.
Dari Rush hingga kembalinya Zoff.
1987-88. Setelah kehilangan Platini, Juve juga kehilangan Lionel Manfredonia
yang kontraknya tidak diperpanjang serta Aldo Serena yang kembali ke klub
lamanya, Inter. Sementara itu, pemain baru banyak berdatangan seperti Alessio
dan Bruno dari Como, Tricella dan De Agostini dari Verona, dan Magrin dari
Atalanta serta yang paling utama: Penyerang tengah Wales Ian Rush dari
Liverpool.
Akan tetapi, musim ini merupakan kekecewaan bagi Juventus. Setelah
tereliminasi dari UEFA Cup di musim gugur, Juventus tersendat di liga.
Akhirnya, dengan susah payah mereka berhail merebut tiket ke Eropa setelah
menang adu penalti di play-off lawan Torino.
1988. Dino Zoff meninggalkan posnya di timnas Olimpiade Italia dan bergabung
sebagai manajer baru Juventus. Sementara, Ian Rush, Vignola, Alessio dan Bonini
dijual ke klub lain. Posisi mereka digantikan pemain baru seperti Rui Barros asal
Portugal, Altobelli, pemain muda menjanjikan Marocchi, dan pemain Rusia pertama
di Italia, Alexandr Zavarov. Musim dimulai, Juve langsung melesat sebelum
akhirnya takluk dari Napoli 5-3. untuk beberapa saat, Juve membuntuti dengan
ketat posisi puncak dan akhirnya kehilangan konsentrasi. Hal itu karena mereka
harus membaginya dengan perjuangan mereka di Piala UEFA saat bertemu sesame
Italia, Napoli di perempat final. Hasilnya, mereka tersingkir di babak
perpanjangan waktu dan harus puas di posisi 4 klasemen liga.
Gol-gol Schillaci
1989-90. Juve merekrut pemain baru diantaranya: pemain timnas Rusia,
Alejnikov, penyerang Schillaci dan Casiraghi, mantan bek timnas Dario Bonetti
dan gelandang Fortunato. Sementara, Laudrup, Mauro, Magrin dan Favero dilego.
Pemain baru yang menjadi perhatian adalah Schillaci. Atas kontribusinya, Juve
melesat memimpin klasemen liga sebelum mereka kalah dari AC Milan. Walau
berhail bangkit dengan menaklukkan Inter dan membalas AC Milan 3-0, pada akhir
kompetisi mereka hanya mampu finis ketiga di belakang Napoli dan AC Milan.
Namun keadaan berbalik 180 derajat di kompetisi Eropa. Tim arahan Zoff ini
berhasil sampai ke final UEFA Cup untuk bersua tim sesame Italia, Fiorentin
dalam all Italian final. Hasil akhir, Juve merebut gelar Piala UEFA kedua
mereka dan menambahnya dengan gelar juara Piala Italia setelah mengalahkan AC
Milan di final pada25 April melalui gol Galia.
1991 – 1994 AWAL TAHUN 90-AN
Maifredi yang meragukan
Piala Dunia yang berlangsung di Italia memunculkan nama bintang Juventus,
Toto Schillaci sebagai pahlawan. Juve sendiri memulai musim kompetisi dengan
menderita kekalahan telak dari Napoli 5-1 pada ajang Piala Super Italia. Pada
musim ini, terjadi beberapa perubahan dimana Luca Cordero di Montezemolo
ditunjuk sebagai wakil presiden. Juve mempunyai manajer baru bernama Gigi
Maifredi dan skuad kedatangan pemain seperti Roberto Baggio, Thomas Haessler
asal Jerman, bek Brazil Julio Cesar, Di Canio, Luppi dan De Marchi serta pemain
muda potensial Corini dan Orlando.
Di musim ini, AC Milan menjadi klub yang menghentikan ambisi Juve menjadi
juara. Di sisa akhir musim, mereka kalah dari Sampdoria di Marassi dan untuk
pertama kalinya dalam sejarah mereka gagal lolos ke Eropa setelah hanya mampu
bertengger di posisi ketujuh klasemen. Sementara di Piala Winner, Juventus
terhenti di semifinal dari tangan Barcelona.
Kembalinya Trapattoni dan direkrutnya Kohler
Musim panas 1991 menjadi saksi kembalinya Giampiero Boniperti sebagai
presiden Juventus. Sementara Trapattoni kembali menjadi manajer dan membawa
beberapa perubahan di tim dengan keluarnya Haessler dan Fortunato. Sementara
Juve membeli pemain asal Jerman Juergen Kohler dan Steffan Reuter selain
Carrera, Conte, dan kiper muda Peruzzi. Dengan lini pertahanan yang kembali
solid, Trap berhasil membawa Juve memuncaki klasemen liga. Selanjutnya, mereka
bermain konsisten dan berhasil menahan imbang AC Milan. Akan tetapi, petaka
dating saat mereka kalah dari Sampdoria dan meraih rentetan dua hasil imbang.
Hal ini membuat AC Milan menyalip mereka dan menjauh. Juve finis di posisi
kedua klasemen. Hal yang sama terjadi di Piala Italia dimana setelah berhasil
menyingkirkan AC Milan di semifinal, mereka kalah dari Parma di final.
Piala UEFA, Vialli dan Roberto Baggio
Juve memulai musim ’92-’93 dengan target sama di musim sebelumnya. Nama
besar seperti Schillacci, Tacconi dan Julio Cesar keluar dari tim. Sementara,
Gianluca Vialli datang dari Sampdoria bersamaan dengan Moeller, Platt, dan
Ravanelli serta Dino Baggio. Peruzzi dipromosikan sebagai kiper utama dan
pemain berpengalaman Rampulla sebagai kiper cadangan. Namun, Juve tetap
kehilangan konsistensi seperti musim lalu. AC Milan berhasil merebut banyak
poin dan Juve tidak mampu mengejar mereka. Juve akhirnya berkonsentrasi penuh
di Piala UEFA. Hasilnya tidak pun mengecewakan. Mereka melaju sampai final
setelah sebelumnya mengalahkan PSG yang diperkuat George Weah. Di final yang
memainkan system Home and Away, mereka tidak menemui kesulitan melawan klub
Jerman, Borussia Dortmund dan trofi ketiga Piala UEFA masuk ke lemari klub.
Sementara di liga, Juve finis di posisi empat dibelakang Inter dan Parma serta
AC Milan yang menjadi juara.
Musim 1993-94, Juve memulainya dengan baik dan berhasil menundukkan
Sampdoria yang diprkuat Ruud Gullit serta memenangi derby dengan Torino 3-2.
Juve makin mantap mengejar posisi puncak melalui gol-gol Roberto Baggio,
Moeller dan Ravanelli. Namun, setelah permainan spektakuler di paruh
partama liga, Juve ditaklukkan pemuncak klasemen AC Milan dan hasil ini membuat
mereka gagal menyalip dan melepas gelar juara ke klub kota Milan tersebut. Akan
tetapi, di bagian akhir musim, pemuda 19 tahun milik Juve bernama Alessandro
Del Piero memainkan partai debut di tim utama dan mencetak gol perdananya saat
melawan Genoa. Hasil manis didapat Juve di akhir-akhir kompetisi dengan
mengalahkan Inter 1-0 dan Lazio 6-1 untuk memastikan posisi runner-up.
1995 – 1998 KEMENANGAN LIPPI
1995, Debut Lippi
Musim panas 1994, Marcelo Lippi ditunjuk sebagai manajer baru Juventus.
Ferrara, Paulo Sousa dan Deschamps merupakan wajah baru tim sedangkan Del Piero
dipromosikan dari tim junior. Musim dimulai dengan cukup baik, dimulai dengan
hasil imbang dan 2 kemenangan atas Bari dan Napoli. Lalu kemenangan dalam
pertandingan yang cukup alot melawan Sampdoria lewat gol tunggal Di Livio. Juve
mengakhiri paruh pertama musim dengan memimpin klasemen. Di paruh kedua,
keadaan menjadi lebih baik bagi tim, dengan kemenangan tandang atas Sampdoria
dan AC Milan, Juve terlihat akan memenangi liga dengan mudah. Namun, hal itu
menjadi berantakan akibat tiga kekalahan beruntun yang membuat Parma berhasil
menguntit ketat. Walau begitu, Juve berhasil lolos dari kejaran Parma saat
keduanya bertemu di Delle Alpi dan Juventus meraih kemenangan mutlak 4-0
sekaligus memastikan gelar juara. Parma terbukti menjadi lawan tangguh saat itu
dimana keduanya kembali bertemu di final Piala UEFA. Saat itu giliran Juventus
yang harus menyerah. Juventus membalas di Piala Italia saat Vialli dkk.
mengalahkan Parma di pertemuan mereka yang ke-2 di final.
Musim berikutnya, Juventus harus kehilangan Kohler yang kembali ke Jerman
dan menggantikannya dengan bek berumur namun penuh pengalaman, Vierchowood.
Kali ini mereka berkonsentrasi di kompetis domestik dan Eropa. Hal ini membuat
perjalanan mereka di liga agak tersendat. Dan, setelah imbang 1-1 dengan AC
Milan, mereka memutuskan untuk berkonsentrasi penuh di Liga Champions. Setelah
menyingkirkan Madrid di perempatfinal dan Nantes di semifinal, mereka berjumpa
Ajax pada 22 Mei 1996. Di pertandingan tersebut, kedua tim yang bermain
imbang 1-1 selama 120 menit, hasil akhir harus ditentukan dengan duel adu
penalty. Juventus menang 4-2 dan berhasil mengangkat trofi Liga Champions yang
mereka idamkan. Setelahnya, mereka berhasil menambah trofi setelah merebut
Piala Super Italia di bulan Januari, saat mengandaskan Parma 1-0 di Delle Alpi.
1997, Dari Boksic ke Vieri
Musim panas 1996 membawa beberapa perubahan bagi Juventus. Vialli dan
Ravanelli pergi, dan Boksic, Vieri dan Amoruso menggantikan posisi mereka. 2
pembelian penting ada di posisi bek dan gelandang serang melalui Montero dan
Zidane. Di musim ini, Juve berhasil meraih Piala Interkontinental di Tokyo,
setelah gol tunggal Del Piero berhasil menyudahi perlawanan wakil Argentina,
River Plate. Trofi bertambah setelah Juve meraih Piala Super Eropa saat
membungkam wakil Prancis, Paris St. Germain. Kembali ke liga, dengan diwarnai
kemengana sensasional 6-1 atas AC Milan, mereka kembali meraih scudetto setelah
hasil imbang lawan Parma di Delle Alpi. Sayangnya, hasil ini tidak diikuti di
Liga Champions dimana mereka kalah di final yang berlangsung di Munich oleh
wakil Jerman Borussia Dortmund yang diperkuat mantan pemain mereka, Moeller dan
Paulo Sousa.
1998, Del Piero dan Inzaghi: lumbung gol Juve
Pippo Inzaghi dan Edgar Davids merupakan pemain anyar Juventus di musim
’97-’98. Rival terberat mereka saat itu ialah Inter Milan yang diperkuat pemain
terbaik dunia, Ronaldo. Hasil penentu terjadi saat lima kemenangan beruntun,
dan hasil positif lawan AC Milan (4-1) dan gol semata wayang Del Piero dari
titik putih saat lawan Inter membuat mereka secara matematis memenangi scudetto
dua pekan sebelum musim berakhir. Sementara kejadian musim lalu terulang di
Liga Champions saat mereka takluk dengan skor tipis 0-1 dari Real Madrid.
1999 – 2001 MASA KEPEMIMPINAN ANCELOTTI
Dari Lippi ke Ancelotti
Musim1998-1999: Juventus tidak banyak berubah namun para rival mereka, Inter
dan AC Milan serta Lazio memperkuat skuadnya. Setelah memenangi dua
pertandingan pertama, mereka kalah dari Parma namun berhasil bangkit dengan
menglahkan Inter untuk kembalim memimpin klasemen. Pada 8 November saat bersua
Udinese, Juve yang unggul 2-0 harus rela kehilangan 3 poin di menit-meint
akhir. Situasi bertambah parah karena kapten tim, Del Piero cedera parah dan
harus absen di sepanjang musim. Hasilnya bisa ditabak, permainan tim anjlok dan
Juve hanya bisa berkutat di papan tengah walau saat itu sempat membeli Juan
Esnaider dan Thierry Henry yang masih belia. Dan, hanya 2 kemenangan atas Lazio
dan Fiorentina yang membuat posisi mereka aman di papan tengah. Di sisi lain,
Juve harus rela bermain di Piala InterToto akibat kalah di play-oof lawan
Udinese. Di akhir musim yang buruk ini, Lippi mengundurkan diri dan diganti
Carlo Ancelotti yang sebelumnya sukses bersama Parma.
Selanjutnya di musim panas 1999, Juve memulai petualangan di bawah arahan
Ancelotti di Piala InterToto. Beberapa nama baru direkrut: kiper asal Belanda,
Van Der Sar, sayap belia Zambrotta, pemain Nigeria Oliseh dan bomber Serbia
Darko Kovacevic. Seterusnya, setelah start di awal musim yang baik, Juve
berhasil meneruskan performanya dengan mengandaskan Roma dan Inter Milan dan
berhasil memimpin klasemen. Di lain pihak, Lazio menjadi rival terberat saat
itu. Saat keduanya bertemu di Delle Alpi, pada 1 April 2000, mereka kalah dan
terus kehilangan poin setelahnya. Akibatnya, posisi puncak diambil alih Lazio.
Di pekan terakhir, Juve bertandang ke Perugia. Di pertandingan yang diwarnai
hujan lebat, Juve harus menyerah dan membiarkan Lazio menyalip mereka ke tangga
scudetto.
Musim berikutnya tidak jauh berbeda. Dengan Ancelotti masih memberi arahan
dari bangku cadangan, Juve membeli penyerang asal Prancis David Trezeguet dari
Monaco. Kompetisi saat itu didominasi oleh tim asal Roma lainnya, AS Roma.
Juventus bermain inkonsisten dan meraih terlalu banyak hasil imbang. Akibatnya,
Juve tidak berhasil mengejar Roma. Di saat keduanya berjumpa pada 6 Mei, Juve
yang telah unggul 2-0 berhasil dikejar dan hasil akhir menjadi imbang 2-2. Sesudahnya,
walau berhasil memenangi 5 pertandingan terakhir, Juventus tetap tidak bisa
mengejar dan Roma menjadi juara dengan 75 poin, unggul 2 poin atas mereka.
Sementara bomber anyar Juve, Trezeguet menjadi satu-satunya hal positif dengan
berhasil mencetak 14 gol di sisa 6 pertandingan terakhir.
2002 – 2003 MEMASUKI MILLENIUM BARU
2002, Juve salip Inter Milan di detik-detik terakhir untuk meraih
scudetto
Musim panas 2001: Juve merombak tim dengan Marcello Lippi kembali menangani
tim. Buffon, Thuram, Nedved dan Salas merupakan pembelian terpenting saat itu.
Namun, mereka harus kehilangan sang maestro, Zidane yang pindah ke Real Madrid.
Juventus memulai musim dengan 3 kemenangan namun terpeleset saat lawan Roma
dan ditahan Torino 3-3. Setelah mengalami naik turun dan pada akhirnya tibalah
saat penentuan. Di akhir musim, dua kemenangan atas Piacenza dan Brescia
membuat jarak mereka dengan pimpinan klasemen Inter hanya tinggal 1 poin. Di
pekan terakhir, Inter bertandang ke Lazio sedangkan Juve bertamu ke Udinese dan
Roma, yang secara matematis masih bisa juara ditantang Torino di Delle Alpi.
Hasilnya sungguh di luar dugaan: Juve tancap gas dan menutup pertandingan di
lima belas menit awal, sedangkan Inter berjuang mengejar ketertinggalan atas
Lazio namun hasil akhir tak berubah. Inter takluk dari Lazio dan Juve menjadi
juara di detik-detik terakhir sekaligus menorehkan sejarah di scudetto ke-26
mereka.
2003, Nedved sang pemimpin
September 2002, juara bertahan Juventus memulai musim dengan beberapa
perubahan. Mereka membeli Di Vaio di saat akhir penutupan transfer. Inter dan
AC Milan memulai lebih baik namun pada bulan November mereka berhasil disalip.
Juventus babat AC Milan 2-1 dan hancurkan Torino 4-0. Di penghujung musim, Juve
menang atas Parma sedang Inter takluk dari Chievo dan Milan ditahan Lazio. Juve
semakin dekat ke gelar juara saat mereka menang 3-1 atas Como dan 3-0 atas
Inter arahan Cuper. Akhirnya, gelar juara itu diraih juga pada 10 Mei setelah
hasil seri 2-2 dengan Perugia, 2 pekan sebelum musim berakhir, cukup membuat
mereka merengkuh scudetto ke-27 mereka. Sementara itu, Juve hampir saja
mencetak sejarah double winner saat berhasil menaklukkan Real Madrid untuk
melaju ke final Liga Champions melawan AC Milan dalam All Italian Final.
Sayangnya, tim asuhan Lippi tersebut kalah beruntung melalui adu penalty di
final yang dilangsungkan di Old Trafford, Manchester itu.
Presiden Chiusano Wafat
Pada 15 Juli 2003, Juve membeli hak dari Stadion Delle Alpi untuk 99 tahun
mendatang dari Dewan Kota Turin sehingga mereka berhak membangun stadion
pribadi. Pada bulan Agustus, mereka berangkat ke USA untuk memainkan partai
Piala Super Italia lawan AC Milan. Skor 0-0 setelah 90 menit, 1-1 setelah
perpanjangan waktu, namun kali ini Juve memenangi duel adu penalty. Akan tetapi,
kegembiraan klub tidak berlangsung lama. Sebuah kabar mengejutkan datang:
Presiden klub Vittorio Caissotti di Chiusano meninggal dunia. Ia lalu
digantikan oleh Franzo Grande Stevens, Wakil presiden dari FIAT. Setelah
merengkuh Piala Italia, musim liga dimulai dengan buruk. Setelah bermain baik
di paruh pertama musim, mereka tertinggal di belakang AC Milan dan AS Roma.
Juventus juga kehilangan konsentrasi di Liga Champions, yakni tersingkir dari
tim asal Spanyol Deportivo La Coruna dan juga gagal di final Piala Italia
setelah kalah lawan Lazio. Di sisi lain, setelah kehilangan Chiusano, Juve juga
kehilangan seorang figur penting klub: mantan presiden Umberto Agnelli
meninggal pada 27 Mei 2004 akibat kanker paru-paru.
2004 – 2006 DUA GELAR TAMBAHAN
Emerson, Cannavaro dan Ibrahimovic
Musim panas 2004, Lippi pergi dan digantikan oleh Fabio Capello. Juve banyak
merekrut pemain baru mulai dari Emerson (Roma), Cannavaro (Inter), Blasi
(Parma) dan pemain Prancis Zebina (Roma) serta yang terpenting ialah bomber
Swedia Ibrahimovic (Ajax). Juve memulai kompetisi dengan baik; Brescia
ditaklukkan, Atalanta dan Sampdoria tidak berkutik dan satu hasil seri sebelum
rentetan kemenangan. Di akhir November, Juve kehilangan 3 poin saat Inter
berhasil mengejar ketertinggalan 0-2 menjadi 2-2 dan juga saat ditahan tim
sekota Inter, AC Milan pada 18 Desember. Namun terlepas dari hasil ini, laju
Juventus tak terhentikan. Kemenangan tandang atas AS Roma mendekatkan mereka ke
gelar juara. Tapi Juve tersendat setelah kalah dari Inter di kandang dan
pertandingan lawan AC Milan pada 8 Mei menjadi penentu gelar juara. Juventus
menang melalui gol Trezeguet sekaligus merebut scudetto dengan unggul 7 poin
atas posisi kedua, AC Milan dan 14 poin atas posisi ketiga, Inter Milan.
9 kemenangan beruntun
Setelah menambah amunisi dengan mendatangkan Mutu dan Chiellini serta
Vieira, Juve memulai musim 2005-2006 dengan performa lebih baik. Mereka
berhasil membukukan 9 kemenangan beruntun sebelum berakhir di tangan AC Milan.
Segera setelahnya, para pemain Juve menunjukkan performa apik di awal musim
dengan menundukkan Roma 4-1 dan Fiorentina 2-1 sekaligus meninggalkan para
pesaing terdekatnya. Pada Februari 2006, Juventus yang saat itu
berada di posisi pertama memenangi pertandingan super penting lawan Inter.
Mereka hanya butuh hasil imbang lawan AC Milan di pertandingan berikutnya untuk
memastikan gelar juara.
Sementara itu di Liga Champions, mereka harus takluk di perempatfinal dari
tangan Arsenal (finalis saat itu) 0-2 dan 0-0. Di sisi lain, pada sisa akhir
musim, Juventus dinyatakan terlibat dalam sebuah investigasi yang melibatkan
petinggi mereka, Luciano Moggi dan Antonio Giraudo. Hal ini terbukti dari
terungkapnya beberapa percakapan telepon oleh kedua orang tersebut kepada
petinggi Federasi Sepakbola Italia. Skandal ini terungkap media dan segera
public mengenalnya dengan nama skandal Calciopolli. Sementara itu, Moggi
mengundurkan diri dari klub sehari setelah liga berakhir diikuti dengan Giraudo
beberapa hari kemudian. Hal ini membuat perubahan besar-besaran di jajaran
manajemen klub. Giovanni Cobolli Gigli terpilih sebagai presiden klub, dan
Jean-Claude Blanc menjabat rangkap sebagai Direktur Pelaksana dan Direktur
Umum. Skandal Calciopolli terus terkuak dan Juventus didakwa turun kasta ke “divisi
lebih rendah dari Serie B”. Juve juga kehilangan gelar scudetto musim 2004-2005
dan 2005-2006. Dan, setelah melalui beberapa proses investigasi, Juve akhirnya
terdegradasi ke Serie B dengan pengurangan 30 poin di awal musim, yang mana
dikurangi menjadi 17 dan, setelah mendapat rekomendasi Komite Olimpiade
Nasional, berkurang menjadi “hanya 9 poin” untuk musim 2006-2007.
2006 – 2007 KEMBALI KE JALUR JUARA
Kedatangan Didier Deschamps
10 Juli 2006: Juventus yang harus bermain di Serie B akibat skandal Calciopolli
mendapat seorang manajer baru sekaligus mantan pemain mereka, Didier Deschamps.
Beberapa pemain banyak yang hengkang namun tak sedikit yan bertahan seperti:
Buffon, Del Piero, Trezeguet, Nedved dan Camoranesi. Pelatih Prancis ini juga
mempunyai stok pemain muda yang mumpuni dalam diri Paro, Marchisio, Palladino
dan Giovinco.
Juventus memulai petualangan pertama mereka di Serie B dengan hasil yang
kurang mulus. Hal itu disebabkan lantaran mereka buta akan kekuatan lawan, pun
dengan pengurangan 17 poin di awal kompetisi. Baru pada pekan ketiga semua hal
itu berubah dimana mereka berturut-turut mengalahkan Crotone, Modena, Piacenza,
Treviso, Triestina, Frosinone dan Brescia. Hasil ini membuat mereka beranjak ke
posisi teratas dan semakin mendekati zona promosi ke Serie A.
Akan tetapi, sebuah tragedi naas terjadi saat mereka tengah meretas jalan
kembali ke Serie A. Pada 15 Desember 2006, tepat sebelum pertandingan antara
Juve melawan Cesena, 2 pemain muda mereka yaitu gelandang Alessio Ferramosca
dan kiper Riccardo Neri mengalami kecelakaan saat tenggelam di danau buatan
tempat latihan klub, dan membuat mereka meninggal seketika. Dengan kesedihan
mendalam atas kejadian ini, Juve kembali ke lapangan dan berhasil meraih
kemenangan atas Bologna yang didedikasikan kepada kedua pemuda tersebut.
Di bagian akhir musim, Juve mulai nyaman memimpin klasemen. Selain itu, dua
rival terberat mereka Napoli dan Genoa mereka taklukkan masing-masing 2-0 dan
3-1. Dan, pada 19 Mei 2007, kemenangan besar atas Arezzo membuat mereka secara
matematis promosi ke Serie A dan diikuti dengan kemenangan kandang atas Mantova
yang membuat mereka memastikan menjadi juara Serie B. Di lain pihak, Deschamps
memutuskan untuk tidak memperpanjang kontraknya dengan Juventus. Giancarlo Corradini
dipilih menangani tim sampai akhir musim dan pada 4 Juni, Juventus mengumumkan
bahwa mereka telah mendapatkan manajer baru: Claudio Ranieri.
2007 – 2008 KEMBALI KE PAPAN ATAS
Kedatangan Ranieri
Musim panas 2007: Claudio Ranieri terpilih sebagai manajer baru Juve yang
beru saja kembali ke Serie A dan bertugas membawa kembali klub ke kasta teratas
liga secepatnya. Sementera dalam hal skuad terdapat banyak nama baru. Di
pertahanan ada nama Criscito, Andrade, Grygera, Molinaro, sementara Tiago,
Almiron, Nocerino, Salihamidzic mengisi lini tengah dan penyerang haus gol,
Vicenzo Iaquinta. Juve memulai musim dengan menghancurkan Livorno 5-1 dan
menunjukkan kepada lawan determinasi dan ketajaman lini depan mereka. Sepekan
setelahnya, determinasi kembali ditunjukkan Juve saat menaklukan Cagliari 3-2.
Namun setelahnya, mereka terpeleset setelah kalah di kandang sendiri dari
Udinese melalui gol tunggal Di Natale. Akan tetapi, kekalahan tersebut tidak
menggoyahkan mental Juve dan di pekan selanjutnya mereka sukses menahan favorit
juara AS Roma 2-2 dan membantai Reggina 4-0. setelahnya lebih manis, mereka
memenangi derby pertama musim itu melalui gol tunggal Trezeguet.
Menahan sang pimpinan klasemen
Laju kemenangan Juve terhenti pada 27 Oktober, yaitu saat kalah dari Napoli.
Namun kekalahan tersebut dinilai lebih berbau kontroversial karena keputusan
wasit yang tidak memberi penalti. Sesudahnya, Del Piero dkk. dengan cepat
bangkit dan membungkam Empoli 3-0 dan, dengan permainan yang brillian, menahan
laju kemenangan beruntun sang juara bertahan Inter Milan 1-1.
2008, start lambat Juve
Pada awal 2008, Juve mulai kehilangan poin penting saat melawan Catania,
Sampdoria dan Cagliari. Namun akhirnya kembali meraih kemenangan atas Udinese
dan AS Roma. Di transfer paruh musim, Juve merekrut Sissoko dari Liverpool
untuk menambah daya gebrak lini tengah mereka. Masuknya pemain ini membuat Juve
berhasil mempersempit jarak hanya menjadi satu poin dengan posisi kedua, AS
Roma. Namun, di Reggio Calabria, sebuah keputusan controversial wasit lagi-lagi
membuat mereka takluk dari Reggina 1-2. Hasil ini membuat mental tim jatuh dan
hasil imbang di derby dan takluk dari Fiorentina di kandang sendiri membuat
posisi mereka untuk ke Liga Champions musim depan terancam. Akan tetapi,
memasuki bulan Maret, situasi berubah positif. Diawali kemenangan atas Genoa,
lalu Napoli, dan bahkan mereka berhasil mengalahkan pimpinan klasemen Inter
Milan 2-1 dengan penampilan yang luar biasa.
Di akhir musim, Juve meraih hasil beragam. Kalah dari Palermo (diantaranya
ditentukan oleh peforma bagus dari pemain masa depan Juve, Amauri), lalu menang
atas AC Milan yang saat itu baru saja menjuarai Piala Dunia Antar Klub.
Setelahnya, tiga kemenangan atas Parma, Atalanta dan Lazio mengamankan tempat
ketiga buat mereka. Sementara kapten Juve, Del Piero ditahbiskan menjadi top
skorer dengan 21 gol, satu gol lebih banyak dari tandemnya, David Trezeguet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar